Senin, 29 September 2014

Aku memilih memendam, sendirian

Malam ini, entah kenapa rasanya ingin berdiam diri di kamar saja. Mengasingkan diri dari keluarga kecilku yang sedang asyik menonton acara televisi. Aku menatap layar handphone, melihat social media dan juga blackberry messenger ku. Ah… dia jarang sekali update, padahal aku ingin tau apa yang sedang dia lakukan bahkan mungkin apa yang saat ini dia resahkan. Rindu, lebih sering muncul akhir-akhir ini. Entah kenapa aku memilih memendam ini sekian tahun, ya.. menahun rasa ini aku pendam sendiri. Aku mencoba berpura-pura tidak mempunyai sedikit pun rasa suka padanya. Banyak hal yang membuatku melalukan ini, salah satunya adalah aku hanya seorang wanita. Kamu pasti bilang, “udah ga jaman lagi cewe mendem perasaan. Ngomong ajah”. Tapi cinta emang ga semudah itu, atau mungkin memang aku sendiri yang mempersulit. Entahlah, aku hanya takut kalau ternyata rasa sayang ini benar-benar rasa sayang satu arah. Oleh karena itu, aku lebih baik memendam ini sendiri.

Terkadang rasa ini memuncak, seperti malam ini. Ingin sekali rasanya aku menghubungimu hanya untuk menyatakan “apa kabar?”. Padahal itu bukan hal yang aneh untuk seorang teman bertanya kabar bukan? Tapi entah kenapa itu begitu terdengar aneh dan sulit untukku. Gengsi kah? Mungkin saja..
Ahh… wanita, kenapa kamu memperumit dirimu sendiri?
Mencintaimu dalam diam, memang buat sesak dada. Menahan rindu yang begitu bertumpuk-tumpuk sejak bertahun lalu. Hello pria disana, apa memang kamu tidak bisa menangkap signal-signal kesukaanku terhadapmu? Atau kamu hanya berpura-pura tidak tahu?
Aku menunggu… menunggu kamu menyadari signal-ku dan kemudian menghampiriku untuk memastikan bahwa kau juga memiliki rasa yang sama. Atau, aku menunggu.. menunggu rasa ini lelah dan lenyap dengan sendirinya. Entahlah…
Malam ini aku hanya ingin sendiri dan bersama kamu, dalam mimpi…

Sabtu, 27 September 2014

GELAP

Aku tidak pernah menyangka sebelumnya, aku ada disini sekarang. Dititik ini, dititik dimana semua terasa seperti angka nol (0), kosong.. hampa… tak tau apa yang aku mau dan apa yang aku cari.
Mungkinkah karena aku terlalu lelah?
Mungkinkah karena aku terlalu percaya sebelumnya?
Entah apa yang sebenarnya menjadi alasanku menjadi seperti ini. Aku menjadi pecundang yang sudah takut terluka, yang sudah takut untuk dikecewakan. Yah, aku pecundang. Aku ingin jatuh cinta, merah merona saat mengingat seseorang yang aku cintai. Aku ingin merasakannya lagi. Tapi kamu tahu? Disisi lain aku terlalu takut jatuh, aku terlalu takut sakit lagi.
“How can I love, when am afraid to fall?” –thousand years

Gimana bisa aku jatuh cinta, kalau aku sendiri……
Tuhan, kaulah penggenggam hatiku. Kau yang tahu percis apa yang aku rasakan sekarang. Rasa lelah dan rasa sulit percaya lagi pada cinta. Terkadang aku bisa berkata, “jalani saja..”. tapi disaat yang lain, aku membutuhkan kepastian. Bukan hanya kepastian dari kisah ini, tapi dari diriku sendiri. Apakah ini cinta atau bukan? Aku takut melukai hati oranglain ketika aku sendiri belum bisa tegak lagi untuk berdiri. Bahkan untuk mengenali rasa sayang atau hanya sekedar butuh sandaran saja aku tidak tahu.
Apa memang rasa sakit ini terlalu dalam, atau mungkin rasa sakit ini terlalu sering mampir??
Aku sadar, bahwa waktu terus berjalan dan tak pernah menunggu siapapun. Apalagi menunggu seorang pecundang seperti aku. Aku mencoba bangkit dan meyakinkan bahwa aku bisa lagi mencintai, tapi aku tidak bisa berbohong bahwa aku belum yakin.

Entah kapan dan siapa yang akan meyakinkanku, bahwa cinta memang ada dan tak pernah lagi menyakiti. Ini soal waktu dan harapan yang baru….

Cinta tidak pernah egois

Iya, kamu. Kamu yang sempat menjadi anganku, yang aku harapkan bisa menjadi pelabuhan terakhirku. Walau saat itu, banyak orang yang menilai sebelah mata, dan meragukannya. Aku tetap yakin, kamu. Waktu terus berjalan, hingga aku dan kamu semakin dekat. Hingga aku dan kamu tak ada lagi jarak. Keadaan ini semakin meyakinkan aku, bahwa kamu adalah yang terakhir. Semua sikap dan sifat keras kepala kamu, selalu aku maafkan. Dan aku selalu menemukan alasan untuk tetap bertahan. 
Bukan hal yang jarang kamu meminta kita mengakhir segalanya ketika ego kamu sudah mulai di ubun-ubun. Aku menangis, dan aku mencoba meyakinkan bahwa hanya kamu yang aku mau. Tidak jarang kamu keras kepala, dan seperti yang orang bilang.. aku harus menyikapi dengan tenang. Perselisihan seperti ini memang sering, tapi selalu bisa diselesaikan walau dengan drama yang bercucuran air mata. Aku bertahan, iyah aku. Sampai akhirnya aku sadar satu hal, kenapa harus selalu aku yang bertahan dan berjuang? Iya, kenapa?
Kenapa saat aku mencoba pergi, kamu hanya diam? Ternyata cinta yang kamu punya tak seindah ucapan dan janji kamu, atau bahkan lagu yang sering kamu mainkan untuk meyakinkan aku. Aku menyerah, aku menghentikan langkahku terhadapmu.
Aku mengalah bukan berarti kamu bisa terus menjaga ego kamu. Aku mengalah bukan berarti kamu terus bisa melakukan apa yang kamu mau tanpa memikirkan aku. Aku diam dan bersabar bukan berarti kamu bisa menyakitiku dengan alasan rasa sayang. Bukan…

Maaf jika aku akhirnya memilih mengakhiri. Kamu terlalu sibuk dengan keegoisanmu. Cinta bukan hanya menerima apa adanya. Tapi juga mau belajar untuk melengkapi, untuk menjadi yang terbaik satu sama lain. Tidak seperti ini, kamu yang terus egois dan aku yang selalu mengalah. Dan parahnya sampai saat aku pergi pun, kamu tetap tidak menyadari ini atas kesalahanmu, kamu tetap mencari-cari kesalahan oranglain. Kamu tahu? Itu hanya menegakkan langkahku untuk melangkah ke depan, dan tidak akan pernah berbalik, tidak akan.